BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10
% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
- Tujuan
Tujuan Umum
·
Untuk mengetahui penyakit difteri pada anak
·
Dapat memberikan Asuhan Keperawatan pada penderita difteri
Tujuan Khusus
·
Untuk mengetahui defenisi difteri
·
Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi dari respiratory atas
·
Untuk mengetahui etiologi difteri
·
Untuk mengetahui patofisiologi difteri
·
Untuk mengetahui WOC difteri
·
Untuk mengetahui klasifikasi difteri
·
Untuk mengetahui manifestasi klinis difteri
·
Untuk mengetahui penatalaksanaan difteri
·
Untuk mengetahui pencegahan difteri
·
Untuk mengetahui komplikasi difteri
BAB II
TINJAUAN TEORI
- Defenisi
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan
oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung
dan nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan
pada Anak).
Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas.
Penyakit ini dominan menyerang anak anak, biasanya bagian tubuh yang diserang
adalah tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian
atas.
Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman
Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudo membran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (Ilmu Kesehatan Anak)
- Anatomi Fisiologi
Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan
sampai kolumna vertebra. Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting
dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman
yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh
bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus.
a.
Rongga mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa
bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus
faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh
sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasilais.
Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa.
Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.
Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian
bawah dan krista alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari
dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari
dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar.
Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring
tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang
datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan
trigonum retromolar.
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum
dibagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole dibagian belakang.
Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal dari rongga mulut dan
orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan bicara yang
abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah
dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula.
Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan
kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau
xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga
bagian depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah
dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi
oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian
belakang.
b.
Faring
Faring bagian dari leher dan
tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial atau superior
sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler
yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian
bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan
ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring
yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar
tulang oksiput inferior, kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan
vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui
koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring.
Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang
disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot
konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba
eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang
melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli
palatini dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga
mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding
lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot
palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot
palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior.
Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.
Unsur-unsur faring
meliputi mukosa, palut lendir (mucous
blanket) dan otot:
1.
Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada
letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka
mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet.
Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk
saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel
jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk
dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga
daerah pertahanan tubuh terdepan.
2.
Palut Lendir (Mucous Blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang
diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir
yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke
belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang
terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang
penting untuk proteksi.
3.
Otot
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari
hidung ke laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh
karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga
otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan
biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang
trakeobronkial.
4.
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan
kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis
eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang
a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
5.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal
dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring
dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring
dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini
keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
6.
Kelenjar getah
bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3
saluran yakni superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke
kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam
atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik
dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke
kelenjar getah bening servikal dalam bawah.
Berdasarkan letak,
faring dibagi atas:
1.
Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting
misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus
faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi
struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare,
yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal
saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan
foramen laserum dan muara tuba eustachius.
2.
Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga
mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat
dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
a.
Dinding posterior
faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena
ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring,
serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring
bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan
posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior.
Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil
yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil
diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu
kapsul yang sebenar-benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid
dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.
Terdapat macam
tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang
ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada
kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring
yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat
darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila
eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan
penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid)
atau kista duktus tiroglosus.
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan
ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole
sebagai abses peritonsilar.
3.
Laringofaring
(hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi
atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke
esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada
tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih
ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya
terdapat muara esofagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok
pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “ kantong pil” ( pill
pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan
tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi
epiglotis ini berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun
kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada
pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi
langsung.
Fisiologi
a. Fungsi faring
Terutama untuk
pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi
ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.
1. Penelanan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama
gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport
makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus,
keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan
dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong
bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan
laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah
aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah
melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis
media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot
konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi.
Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan
masuk ke lambung.
2.
Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan
terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa
pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini
terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan
m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor
faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring.
Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring
(bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.
Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini
menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan
ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.
- Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri
gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.
Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini
dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa
tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan
formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media
sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media
Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga
untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler,
medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium
Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil,
glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3
jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
·
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit.
·
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
·
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya
dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen
dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravisialah dapat
memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak.
Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya
berbeda.
Sebagian besar jenis yang
tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis
atauintermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini
mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang
berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri
khas C.diphteriaeadalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo
maupunin vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen
dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan
cara:
1. Elek precipitin test, telah
mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang,
walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig
inoculation test (PCR)
3. Rapid enzyme immunoassay(EIA),
pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan
denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan
dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri.
Misalnya basil Hoffman, danCorynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan
intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang
mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
·
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih
keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan
basil.
·
Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama
pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin
ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan
kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan
dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau
disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan
peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat,
yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari
(rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10
menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender
yang telah mengering.
D.
Patofisiologi
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer
RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino
ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke
kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation
factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen
B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) +
H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik
membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga
terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (1)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan
perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama
jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin
yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila
toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam
sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis
toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan
system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan
fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia,
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
(4)
E.
WOC
F.
Kalsifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri
dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang
dirasakan pasien, yaitu:
- Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
- Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
- Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
- Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.
- Manifestasi Klinis
a) Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat
Celcius,
b) Batuk dan pilek yang ringan.
c) Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
d) Mual, muntah , sakit kepala.
e) Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna
putih ke abu abuan kotor.
f) Kaku leher
- Penatalaksanaan Difteri
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi
dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian
dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan
pengobatan spesifik.
Pengobatan
spesifik untuk difteri :
- ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan
0,05 CC à intracutan Tunggu 15 menit à indurasi dengan garis tengah 1 cm à (+)
b. CARA PEMBERIAN
ü Test Positif à BESREDKA
ü Test Negatif à secara DRIP/IV
c. Drip/IV
200 CC
cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4
sampai 6 jam à observasi gejala cardinal.
- Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
- Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
- Pencegahan
a. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
b. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus
diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka
penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi
imunisasi terhadap difteri.
c. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan
pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan.
Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia
imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan
pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2
bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi
yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup
proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
- Komplikasi
1. Gangguan
pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi
jaringan di daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan
membaran putih keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati,
bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan jantung
Toksin
(racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain
dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti
radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis
muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal
jantung kongestif dan kematian mendadak.
3. Kerusakan
saraf
Toksin
juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana
konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf
pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah.
Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka
otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan
alat bantu napas.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS DIFTERI PADA
ANAK
- Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin,
alamat, No RM dan sebagainya
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya ditandai dengan suhu tubuh
meningkat, nyeri saat menelan, adanya pembengkakan di daerah tenggorokkan,
mual, muntah, sakit kepala
2. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya
ditandai dengan klien sebelumnya mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran
nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ditandai dengan adanya keluarga yang
mengalami difteri
c. Riwayat imunisasi
Biasanya ditandai dengan klien yang tidak mendapatkan
imunisasi yang lengkap khususnya imunisasi DPT. Imunisasi DPT seharusnya
didapatkan 3 kali sejak bayi berumur 2 bulan dengan selang waktu pemberian 2
bulan.
d. Riwayat tumbuh kembang
Biasanya anak yang mengalami difteri ditandai dengan
penurunan berat badan yang mengakibatkan pertumbuhan anak terganggu, serta
ditandai dengan gangguan proses bicara.
e. Pemeriksaan Fisik (head to too)
1. Rambut dan hygiens kepala
Biasanya tidak ada gangguan dalam
pertumbuhan rambut dan kebersihan kepala, terasa panas.
2. Mata
Bisanya konjungtiva anemis, sklera
ikterik, pupil normal.
3. Hidung
Biasanya pilek dan kemudian sekret yang
keluar bercampur darah
4. Bibir dan mulut
Pucat, radang selaput lendir, radang
akut tenggorok , dapat ditemukan pseudomembran yang berupa bercak putih
keabu-abuan pada tonsil, naas berbau.
5. Pernafasan /dada
Klien sesak nafas, stridor
inspirsi, suara serak, batuk-batuk kering. Paada pemeriksaan laring tampak
kemerahan, sebab banyak sekret dan pemerikssan ditutupi oleh pseudomembran.
6. Kardiovaskuler
Nadi cepat, tekanan darah menurun.
7. Pencernaan/abdomen
Nyeri menelan, anoreksia.
8. Genetalia dan ekstremitas
Biasanya tidak ada kelainan.
- Diagnosa Keperawatan
1. Bersihkan jalan nafas tidak efektif b/d
obstruksi jalan nafas oleh sekret dan pseodomembaran
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi ;
kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang tidak adekuat
- Intervensi Keperawatan
No
|
Diagnosa
|
Tujuan
dan KH
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Bersihkan jalan nafas
tidak efektif b/d obstruksi jalan nafas oleh sekret dan pseodomembaran
|
Tujuan :
Jalan nafas kembali bersih
KH :
saluran nafas tidak
lagi tersumbat
|
1. Kaji frekuensi,kedalaman pernafasan
dan ekspansi paru. Catat upaya pernafasan termasuk pengguanaan alat bantu /
pelebaran nasal
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat
adanya bunyi nafas adventisius seperti krekel.
3. Atur bunyi posisi yang nyaman / semi
fowler
4. Pertahankan posisi lingkungan minimun
sepeti debu
|
1. Pernafasan biasanya meningkat. Dispnea
dan terjadi peningakatan kerja nafas. Kedalaman pernafasan biasanya
bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Ekspansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasis/ nyeri dada pleuritik..
2. Bunyi naafs menurun / tidak ada bila
jalan nafas obstruksi sekunder terhadap perdarahan, bekuan atau kolaps
jalan nafas kecil. Ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas /
kegagalan pernafasan.
3. Peninggian kepala mempermudah fungsi
pernafasan dengan menggunakan gravitasi atau mempermudah
pertukaran O2 dan CO2.
4. Mengurangi pencetus gangguan
pernafasan / alergi pernafasan.
|
2.
|
Gangguan pemenuhan
kebutuhan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang tidak
adekuat
|
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi Kriteria hasil : intake nutrisi terpenuhi |
1. Pemberian makanan lunak, bila sakit
atau sulit menelan diberi makanan cair (sayur,-sayuran,buah-buahan untuk
membantu peristaltik usus)
2. Berikan wadah tertutup untuk sputum
dan buang sesring mungkin, berikan dan bantu kebersihan mulut setelah muntah
3. Aturlah pemberian makanan dalam porsi
yang sedikit tapi sering.
4. Libatkan
orang tua dalam pemberian makanan.
|
1. Tindakan ini dapat meningkatkan
masukan makanan klien
2. Menghilangkan tanda bahaya, rasa bau
dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual.
3. Meningkatkan
atau memaksimalkan asupan nutrisi anak
4. Membantu dalam memenuhi asupan nutrisi anak, karena
biasanya orang tua tahu cara yang tepat agar anaknya mau makan
|
- Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perancanaan.
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana keperawatan yang telah
disusun. Implementasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien dan dapat diterima
oleh klien itu sendiri dan keluarga klien.
- Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan
keperawatan klien.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
Menurut tingkat keparahannya,
penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
Menurut lokasi gejala difteria
dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri
faring, difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :Panas lebih dari 38 °C, Ada psedomembrane
bisa di pharynx, larynx atau tonsil, Sakit waktu menelan, Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),
disebabkan karenapembengkakan kelenjar leher
B.
Saran
Penyakit difteri rentan menyerang anak-anak dan
perlu penanganan yang cermat dan tepat. Terutama asuhan keperawatan yang
efektif dapat mempercepat proses penyembuhan penyakit difteri
No comments:
Post a Comment