Monday, May 12, 2014

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS "ASMA BRONCHIAL"



Keperawatan Medikal Bedah 1

“ asuhan keperawatan teoritis Asma Bronchial”

O
L
E
h
KELOMPOK 8 :
DILLA MERDEKA WATI
FEBY KUMALA SARI
PRADHITA HENDRIYENI
REGINA YOLANDA
DOSEN PEMBIMBING
Ns. Febriyanti,S.Kep

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2013
KATA PENGANTAR
                                                                                        
Dengan ini penulis  panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberinya rahmat dan hidayahNya sehingga tugas makalah  ini yang berjudul “Asuhan Keparawatan Teoritis Asma Bronchial”
            Adapun maksud dan tujuan makalah ini untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh mata kuliah KMB 1, juga untuk menambah wawasan  dalam ilmu pengetahuan terutama di bidang asuhan keperawatan.
            Penulis menyadari bahwa penyusun makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya atau karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah penulis selanjutnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca




Padang,   Februari 2014


                                                                                                              Penulis










BAB II
TINJUAN TEORI
  1. Defenisi
Asma adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil yang mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah dan meradang. Asma sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma. Namun demikian, tidak semua penyandang asma mempunyai alergi, dan tidak semua orang yang mempunyai alergi menyandang asma (Bull & Price, 2007).
Pada penderita asma, saluran napas menjadi sempit dan hal ini membuat sulit bernapas. Terjadi beberapa perubahan pada saluran napas penyandang asma, yaitu dinding saluran napas membengkak; adanya sekumpulan lendir dan sel-sel yang rusak menutupi sebagian saluran napas; hidung mengalami iritasi dan mungkin menjadi tersumbat; dan otot-otot saluran napas mengencang tetapi semuanya dapat dipulihkan ke kondisi semula dengan terapi yang tepat. Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih buruk, ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya sangat jauh berkurang sehingga bernapas menjadi sangat sulit (Bull & Price, 2007).
  1. Klasifikasi Asma Bronkial
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
a)      Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”. Setiap orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang melindungi tubuhnya terhadap serangan dari luar. Sistem ini bekerja dengan memproduksi antibodi.
Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh, sistem ini akan menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha menumpas sang penyerang. Dalam proses mempertahankan diri ini, gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul bercak-bercak, jaringan-jaringan tertentu memproduksi lendir, dan sebagainya (Hadibroto & Alam, 2006).


b)      Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh, terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun (Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks, sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang diderita seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi ada pada satu orang.
Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik) yang kronis, pada saat menangani terjadinya serangan, dokter akan sering mendiagnosa hadirnya faktor-faktor kecemasan dan rasa panik. Keduanya adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik ini meneruskan lingkaran setan dan memperparah gejala serangan. Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan (pengganggu) dari luar seperti asap rokok dan hairspray akan memperparah kondisi penderita. Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial (termasuk asma ekstrinsik) akan terlihat juga hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-kanak sering tumbuh menjadi orang dewasa yang cenderung menderita asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan bawaan dari masa kanak-kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).

Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi kemunculan gejala (Hadibroto & Alam, 2006).
1.         Intermitten,
yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal (fungsi) paru masih baik.
2.         Persisten ringan,
yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan. Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3.         Persisten sedang,
yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4.         Persisten berat,
gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun.

Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala (Hadibroto & Alam, 2006):
1.         Asma akut ringan,
dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering ataupun berdahak, gangguan tidur malam karena batuk atau sesak napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus Puncak Aspirasi) kurang dari 80%.
2.         Serangan asma akut sedang,
dengan gejala: sesak dengan mengi agak nyaring, batuk kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE antara 50-80%.
3.         Serangan asma akut berat,
dengan gejala: sesak sekali, sukar berbicara dan kalimat terputus-putus, tidak bisa barbaring, posisi harus setengan duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari 50%.
C.    Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma (Hadibroto & Alam, 2006):
1.    Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan (bronkokonstriksi). Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus sehari-hari seperti perubahan cuaca dan suhu udara dimana cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan asma kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). Selain itu polusi udara dari luar dan dalam ruang serta asap rokok yang terhirup oleh penderita asma dapat juga memicu terjadinya serangan asma. Ditambah lagi penderita asma yang memiliki riwayat infeksi saluran pernapasan misalnya sinusitis dapat mengakibatkan eksaserbasi serangan asma. Penderita asma harus menjaga kestabilitas dari emosi/stresnya, karena gangguan emosi/stres dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Selain itu, jangan berolahraga secara berlebihan. Bagi beberapa orang, jenis olahraga tertentu dapat menyebabkan udara terperangkap di dalam saluran napas dan membuat sulit bernapas. Kadang-kadang olahraga dapat menyebabkan serangan asma (Bull & Price, 2007).
2.    Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan. Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan dimana alergen masuk ke tubuh melalui mulut (dimakan/diminum) terutama makanan dan obat-obatan. Selain itu, bisa juga dalam bentuk inhalan yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut. Jenis alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tanaman, pohon, tungau, serpihan dan kotoran binatang, serta jamur. Bentuk lainnya yaitu kontak langsung dengan kulit seperti memakai perhiasan, logam dan jam tangan.
Beberapa faktor orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menyandang asma dibandingkan orang lain (Bull & Price, 2007), di antaranya memiliki riwayat asma atau alergi lainnya dalam keluarga (keturunan) karena asma dapat diwariskan-diturunkan dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga berikutnya. Beberapa faktor genetik (keturunan) dapat mempengaruhi perkembangan asma. Jika salah satu orangtua menyandang asma, peluang berkembangnya asma pada anak-anaknya sekitar dua kali dibandingkan anak-anak yang orangtuanya tidak menyandang asma. Merokok ketika hamil dimana asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. Baik perokok aktif maupun pasif semasa kanak-kanan. Selain itu pilek atau infeksi virus dan terpapar iritan di tempat kerja juga dapat mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan yang berakibat pada terjadinya serangan asma (Ayres, 2003).
Aspek-aspek potensi risiko kemunculan penyakit asma (Widjadja, 2009), antara lain aspek genetik, kemungkinan alergi dan saluran napas yang memang mudah terserang.





D.    Patofisiologi
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar yakni asma ekstriksi dan asma intrinsik (Hadibroto & Alam, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan masing-masing dari patofisiologinya.
a)      Asma Ekstrinsik
Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa bronkus yang mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita yang telah disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada basofil yang kita kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada permukaan sel mast menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan sejumlah bahan yang menyebabkan konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh lain ialah prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik. Bila reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2 mimetik), maka pelepasan histamin akan terhalang.
Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil. Adanya eosinofil dalam sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil di dalam sputum tidak diketahui, tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim yang menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan perlindungan terhadap serangan asma. Dengan demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah tepi (Herdinsibuae dkk, 2005).
b)      Asma Intrinsik
Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik. Mungkin mula-mula akibat kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus yang akan merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir melalui satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga langsung menimbulkan refleks konstriksi bronkus. Atropin bahan yang menghambat vagus, sering dapat menolong kasus-kasus seperti ini. Selain itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan sehingga pada kasus-kasus berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total, sehingga berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan akhirnya kematian. Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini ialah infeksi saluran pernapasan oleh flu (common cold), adenovirus dan juga oleh bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara oleh gas iritatif asal industri, asap, serta udara dingin juga berperan, dengan demikian merokok juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).
E.     Manifestasi Klinis
a)      Tanda
Sebelum muncul suatu episode serangan asma pada penderita, biasanya akan ditemukan tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda awal datangnya asma memiliki sifat-sifat sebagai berikut, yaitu sifatnya unik untuk setiap individu, pada individu yang sama, tanda-tanda peringatan awal bisa sama, hampir sama, atau sama sekali berbeda pada setiap episode serangan dan tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah penurunan dari angka prestasi penggunaan “Preak Flow Meter”.
Beberapa contoh tanda peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006) adalah perubahan dalam pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness), hidung mampat, batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam dibawah mata, susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga dan kecenderungan penurunan prestasi dalam penggunaan Preak Flow Meter.
b)      Gejala
(1)   Gejala Asma Umum
Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkannya usaha yang jauh lebih keras untuk memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat memunculkan gejala berupa sesak napas/sulit bernapas, sesak dada, mengi/napas berbunyi (wheezing) dan batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa).
Tidak semua orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut. Beberapa orang dapat mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainya selalu mengalaminya sepanjang hidupnya. Gelaja asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak dengan pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka performa penggunaan Preak Flow Meter menunjukkan rating yang termasuk “hati-hati” atau “bahaya” (biasanya antara 50% sampai 80% dari penunjuk performa terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
(2)   Gejala Asma Berat
Gejala asma berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu serangan batuk yang hebat, napas berat “ngik-ngik”, tersengal-sengal, sesak dada, susah bicara dan berkonsentrasi, jalan sedikit menyebabkan napas tersengal-sengal, napas menjadi dangkal dan cepat atau lambat dibanding biasanya, pundak membungkuk, lubang hidung mengembang dengan setiap tarikan napas, daerah leher dan di antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke dalam, bersama tarikan napas, bayangan abu-abu atau membiru pada kulit, bermula dari daerah sekitar mulut (sianosis), serta angka performa penggunaan Preak Flow Meter dalam wilayah berbahaya (biasanya di bawah 50% dari performa terbaik individu).
F.     Pemeriksaan Diagnostik
a)      Pemeriksaan Laboratorium
(1)   Pemeriksaan Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melibat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik (Muttaqin, 2008).
(2)   Pemeriksaan Darah (Analisa Gas Darah/AGD/astrub)
·         Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
·         Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
·         Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
(3)   Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm3 baik asma intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat (Muttaqin, 2008).
G.    Pemeriksaan Penunjang
(1)   Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
(2)   Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

(3)   Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
(4)   Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
(5)   Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,  PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik,  APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
(6)   X-ray Dada/Thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
(7)   Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
(8)   Petanda Inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

H.    Penatalaksanaan Medis
·         Terapi Obat
Penatalaksanaan medis pada penderita asma bisa dilakukan dengan pengguaan obat-obatan asma dengan tujuan penyakit asma dapat dikontrol dan dikendalikan. Karena belum terlalu lama ini, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru.
Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah ketinggalan zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan  bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah peradangan saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a)        Obat-obat anti peradangan (preventer)
·         Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
·         Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan produksi lendir
·         Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap pemicu asma yang berupa alergen.
·         Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
·         Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®], fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®] secara bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara teratur) akan mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam tablet.
b)      Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin (theophylline).
·         Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam. Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
·         Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
·         Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet lepas-tunda (extended-reliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin terdaftar di Indonesia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.





I.       WOC






BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. Pengkajian.
1. identitas
Meliputi nama, umur, alamat, jenis kelamin, no MR, pekerjaan, penanggungjwab, dll
2.Riwayat kesehatan
  • Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah klien pernah mengalami penyakit asma sebelumnya,apakah klien pernah mengalami penyakit paru sebelumnya,kaji apakah klien pernah mengkonsumsi obat dan kaji riwayat alergi pasien.
  • Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien mengalami dispnea dengan ekspirasi memanjang,batuk yang kental dan susah keluar,sianosis, takikardi,gelisah,diaporesis dll.
  • Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada keluarga klien yang memiliki penyakit yang sama, apakah ada penyakit keturunan.
3.Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital :
            Tekanan darah,nadi, pernapasan,suhu.
Pemeriksaan head to too :
1.      Kepala
Biasanya tidak ada kelainan pada kepala,kepala bersih dan tak berketombe.
2.      Mata
Konjungtiva anemis, sklera biasanya tidak ikterik, tidak ada edema.
3.      Hidung
Biasanya akan ada banyak sekret jika klien terkena virus influenza yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernapsan.
4.      Telinga
Biasanya tidak ada kelainan pada telinga, tidak pembengkakan
5.      Mulut
Biasanya tidak ada kelainan pada bagian mulut.
6.      Leher
Tidak ada pembengkakan pada kelenjar getah bening,tidak ada kelainan pada kelenjar tyroid.
7.      Thorak
Biasanya pernapasan terdengar wheezing
8.      Paru
Biasanya paru terdengar
9.      Abdomen
Biasanuya akan terjadi peningkatan peristaltik usus.
10.  Ekstremitas atas/bawah
Biasanya tidak ada kelainan pada alat ekstremitas atas maupun bawah.
11.  Pola tidur dan istirahat
-          Kurang tidur karena sesak
-          Insomnia.
            12.Pola persepsi kognitif
-          Klien mampu mengungkapkan strategi mengatasi serangan akut tapi tidak mampu menggunakan efektif selama serangan (panik).
             13. Pola persepsi dan konsep diri
-          Merasa sebagai orang yang lemah atau sakit-sakitan, perubahan body image.
             14. Pola hubungan dengan sesama
-          Mengeluh karena serangan dicetuskan oleh orang-orang sekitar, seperti : asap, rokok.
             15. Pola koping dan toleransi terhadap stress.
-          Cemas, marah, putus asa

            B. Diagnosa Keperawatan
·         Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
·         Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme).
·         Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkuspasme).
·         Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas.

C. Intervensi Keperawatan

No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan/Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental
Pencapaian bersihan jalan napas dengan kriteria hasil sebagai berikut:
1.   Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih atau jelas.
2.   Menunjukan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Mandiri
·  Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas




·   Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.



·   Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.



·   Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh: meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur.

·   Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll.

·   Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi bronkodilator.

·  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.
·  Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
·  Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.

·  Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.



·  Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.


·  Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
·  Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.



2
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme)
Perbaikan pola nafas dengan kriteria hasil sebagai berikut:
Mempertahankan ventilasi adekuat dengan menunjukan RR:16-20 x/menit dan irama napas teratur.
Tidak mengalami sianosis atau tanda hipoksia lain.
Pasien dapat melakukan pernafasan dalam.
Mandiri
·   Ajarkan pasien pernapasan dalam.





·   Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Berikan posisi semi fowler.





Kolaborasi
3.      Berikan oksigen tambahan.

·  Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi sehingga pasien akan bernapas lebih efektif dan efisien.

·   Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan.

·   Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.

3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkuspasme)
Perbaikan pertukaran gas dengan kriteria hasil sebagai berikut:
Perbaikan ventilasi.
Perbaikan oksigen jaringan adekuat.
Mandiri
·   Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.
2.      Palpasi fremitus.


·   Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi
4.      Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien.


·  Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
·  Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.
·  Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
·  Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
4
Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas

Tidak terjadinya infeksi dengan kriteria hasil sebagai berikut:
Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi.
Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman.
Mandiri
·  Awasi suhu.
·  Diskusikan adekuat kebutuhan nutrisi.
Kolaborasi
Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan gram, kultur/sensitifitas.

·   Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi.
·   Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
·   Untuk mengidentifikasi organisme penyabab dan kerentanan terhadap berbagai anti microbial.



















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia kesehatan merupakan hal yang sangat penting, apabila dalam era globalisasi saat ini dimana lingkungan tidak lagi bersih, udara yang kita hidup tiap saat banyak sekali mengandung polutan yang berbahaya bagi kesehatan. Meningkatnya gaya hidup dan perilaku manusia. Juga mempengaruhi kesehatan manusia, misalnya: merokok yang tanpa disadari telah memasukkan begitu banyak racun ke dalam tubuh kita.
Salah satu akibat dari lingkungan yang tidak bersih terutama udara yang tercemar adalah munculnya berbagai penyakit pernapasan diantaranya adalah Asma, walaupun secara langsung udara yang tercemar bukan penyebab Asma, tetapi udara yang tercemar merupakan alergen yang menyebabkan serangan asma karena kebanyakan alergen terdapat di udara dan musiman.
Asma adalah penyakit jalan napas obstruksi intermiten, reversible dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Brunner and Suddarth, 2002, hal. 611). Asma dapat terjadi pada sembarang golongan usia. Sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Dalam sebuah survey di Inggris yang melibatkan 2000 orang, 68% mengira asma adalah kondisi yang paling umum terjadi di bawah usia 12 tahun, tetapi kenyataannya 40% penderita mengalami masalah setelah umur 18 tahun. Tetapi kebanyakan orang dalam kelompok usia di atas 50 tahun mampu menahan bunyi dan sesak nafas karena kenyataan faktor usia. (http:/www.vision.netid/detail php? Id=1652). Hampir 17% dari semua rakyat Amerika mengalami Asma dalam suatu kurun waktu tertentu dalam kehidupan mereka.
Di Indonesia belum ada penyelidikan yang menyeluruh. Di poliklinik sub bagian paru FKUI/RSCM Jakarta, 50% kunjungan merupakan penyakit asma (Kompas, Januari 2004). Penyakit asma sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah. Penanggulangan asma sekarang ini lebih dititikberatkan untuk mencegah terjadinya serangan asma dan diupayakan agar penderita asma dapat melakukan aktivitas seperti biasanya.
Untuk itu kita sebagai perawat hendaknya memberikan asuhan keperawatan untuk mencapai kesehatan pasien yang optimal antara lain penyuluhan kepada penderita asma dan keluarga tentang pentingnya menghindari faktor penyebab asma seperti stress, debu, rokok, alergi, aktivitas yang berlebih. Pentingnya gizi yang baik, cukup istirahat, olahraga ringan secara teratur dan rutin kontrol ke dokter.
B.     Tujuan.
a.       Tujuan umum
Untuk mengetahui dan dapat melakukan asuhan keparawatan pada pasien dengan asma bronkial.
b.      Tujuan khusus
1. Mengetahui dan memahami penyakit Asma Bronkiale, tanda dan gejala yang timbul pada pasien.
2.  Memperoleh pengalaman nyata dalam merawat pasien dengan asma bronkiale sehingga dapat menerapkan konsep dasar klinis dan keperawatan yang diperoleh di perkuliahan.
3.  Memperoleh gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan keperawatan langsung di lapangan.

                                                 




















No comments:

Post a Comment